| 1 komentar ]

oleh,Mundhi Sabda Hardiningtyas

Minggu lalu saya menolak undangan untuk berdoa semalam suntuk di rumah ketua persekutuan kami. Doa puasa itu dimaksudkan untuk meminta kesembuhan bagi ibunda ketua persekutuan yang sedang koma di rumah sakit. Sebenarnya sang ibunda sudah 14 tahun menderita kanker payudara. Walaupun dokter menyarankan payudara sebelah kanannya itu diangkat, tetapi ibunda yang mantan model era delapan puluhan itu tidak rela kehilangan bagian tubuhnya yang indah itu.




Sejak 1994 wanita itu memilih pengobatan alternatif secara tradisional maupun cara supranatural dengan pertolongan dukun. Entah bagaimana proses penyembuhannya, sejak awal 2008 wanita itu harus mondar-mandir ke rumah sakit lagi. Menurut kabar yang beredar, benjolan di kedua payudara wanita itu pecah dan mengeluarkan nanah. Ketika membesuk di rumah sakit, saya mencium bau anyir yang menyengat, yang menandakan ada luka membusuk di tubuh wanita itu.


Tiga bulan lalu ketika membesuk wanita tua itu di rumahnya, saya mendapatkan pemandangan mengerikan. Kemoterapi yang telah dilakukan berulang kali, membuat wanita itu kehilangan seluruh rambutnya dan seluruh permukaan kulitnya hangus terbakar. Matanya yang cekung dan pipinya yang kempot membuat wanita itu mirip zombi. Kuku-kuku tangan dan kakinya yang terlepas seolah menebar aura kematian. Saya sempat bertanya kepada wanita itu, “Apakah Bunda memimpikan sesuatu?” Dengan lirih dia menjawab, “Saya cuma ingin kembali ke rumah Bapa dengan cantik!” Saya pun berbisik, “Bunda, Tuhan tahu dan sanggup memberikan yang terbaik. Percayalah!”

Awal bulan dokter menyatakan bahwa sel kanker yang mematikan itu telah menjalar ke kedua kaki wanita itu. Sayangnya amputasi tidak bisa dilakukan karena dia juga diketahui menderita diabetes. Seminggu lalu, dia terpaksa masuk ICCU karena tidak sadarkan diri. Menurut dokter, sel kanker telah menggerogoti paru-parunya.


Semua anggota keluarga sangat berduka. Segenap kerabat dan sahabat dikerahkan untuk berdoa. Walaupun jarang bergabung dengan persekutuan yang diadakan di rumah sang ketua, saya tetap berdoa kiranya Tuhan memberikan yang terbaik. Kalau Tuhan memandang baik, wanita itu sembuh, saya yakin Tuhan akan menyembuhkannya. Namun jika Tuhan memandang baik wanita itu segera kembali ke rumah Bapa, saya memohon belas kasihan Tuhan supaya wanita itu dipanggil dengan cara yang tidak menyakitkan.


Walaupun ketua persekutuan mengajak berdoa puasa semalam suntuk, tapi saya hanya berdoa seperlunya dan sengaja meninggalkan persekutuan itu dengan dua alasan. Yang pertama, saya merasa tidak bisa bersehati, berdoa memaksa Tuhan untuk menyembuhkan dan mengganti paru-paru baru wanita itu, seperti yang diminta ketua persekutuan. Saya merasa teman-teman persekutuan menggunakan doa semalam suntuk untuk menyogok Tuhan supaya mau menyamakan kehendak-Nya dengan keinginan kita.

Dengan berapi-api ketua persekutuan itu berdoa, “Tuhan, saya yakin Engkau akan menyembuhkan Bunda! Saya yakin Engkau akan memberikan paru-paru baru karena Engkau tidak pernah memberikan ular kepada yang minta ikan”. Setiap mendengar doa itu, saya menghampiri anak-anak bunda yang lain. Dengan lembut saya berusaha mengoreksi doa itu, dengan berkata, “Yakinlah bahwa Tuhan tahu dan sanggup memberikan yang terbaik, bahkan sebelum kita memintanya. Tuhan memang tidak pernah mem-berikan ular kepada yang minta ikan, tapi DIA juga tidak akan memberikan ular kepada yang minta ular”.


Alasan kedua, saya merasa ada hal lain yang perlu dilakukan selain berdoa, yaitu menyiapkan hati semua anggota keluarga. Saya merasa keluarga harus percaya bahwa ada kebangkitan dan kehidupan baru setelah kematian, supaya mereka rela melepas bundanya kembali ke rumah Bapa. Saya merasa mereka harus diyakinkan bahwa kematian adalah kebangkitan yang tertunda.


Beberapa hari lalu, wanita itu kembali ke rumah Bapa. Tuhan memang tidak mengabulkan doa teman-teman persekutuan saya yang meminta kesembuhan dan paru-paru baru. Tapi itu bukan berarti Tuhan tidak sanggup memberikan “ikan” kepada yang memintanya. Hanya saja, kita harus meneliti ulang, apakah yang kita minta itu benar-benar ikan atau ular? Walaupun doa kita sertai tangisan darah sekalipun, kalau yang kita minta ternyata “ular”, maka Tuhan tidak akan mengabulkannya. Tuhan berkata “TIDAK” kalau permintaan kita dipandang-Nya tidak baik.?

Sumber :ayahbunda.org

Tulisan Terkait



1 komentar

Admin mengatakan... @ 18 Maret 2009 pukul 22.48

Tuhan itu baik... DIA sangat mengenal kita lebih dari kita mengenal diri kita sendiri...

Posting Komentar