| 2 komentar ]


Kardinal Peter Kodwo Appiah Turkson dari Ghana mengatakan tidak ada alasan untuk tidak memilih seorang Paus berkulit hitam dari Afrika. Turkson merupakan kardinal dari Afrika yang menonjol. Ia berperan penting dalam memandu pertemuan tiga minggu para uskup Afrika di Vatican yang membahas tantangan Gereja Katolik Afrika.

Dalam sebuah keterangan pers, Senin (5/10), Turkson ditanya, apakah menurut dia sudah waktunya seorang Paus berkulit hitam. "Mengapa tidak," jawabnya. Dia menjelaskan, setiap orang yang ditabiskan menjadi imam Katolik berpeluang menjadi Paus, dan diberi latihan sepanjang tugasnya sebagai uskup dan kardinal. "Semua itu adalah bagian dari paket," katanya.


Dia mengingatkan, mantan Sekjen PBB Kofi Annan adalah orang Ghana. "Dia punya sejumlah persoalan tetapi tetap melakukannya. Dan, sekarang ada Obama di AS. Jika atas penyelenggaraan Ilahi, karena Gereja milik Tuhan, jika Tuhan berkehendak untuk melihat seorang pria kulit hitam sebagai Paus, terima kasih kepada Tuhan," katanya.

Spekulasi tentang kemungkinan seorang Paus berasal dari negera berkembang telah berhembus lama. Gereja Katolik bertumbuh pesat di negara berkembang. Di Afrika, antara tahun 1978 hingga 2007, jumlah orang Katolik bertambah dari 55 juta menjadi 146 juta. Hal itu kontras dengan kondisi komunitas Katolik di Eropa yang merosot.

Tahun 1978, Paus Yohanes Paulus II dari Polandia menjadi Paus non-Italia pertama setelah 455 tahun. Para kardinal kembali melakukannya tahun 2005 ketika memilih Paus Benediktus XVI yang kelahiran Jerman.

Apakah sidang para kardinal akan mencari orang di luar Eropa sebagai pengganti Benediktus XVI, masih merupakan pertanyaan yang terbuka. Paus Benediktus XVI masih tampak bugar pada usianya yang 82 tahun, dan belum ada tanda-tanda tugasnya akan berakhir cepat.

Namun Turkson mungkin akan sangat siap ketika saatnya tiba. Uskup berusia 60 tahun dari Cape Coast, Ghana itu dipilih oleh Benediktus XVI sebagai penghubung atau pemimpin utama diskusi pada Sinode Uskup Afrika.

Selama konferensi pers, dia dengan tangkas menangani pertanyaan tentang gereja di Afrika, termasuk tentang para imam yang meninggalkan hidup selibat mereka dan tinggal atau hidup bersama perempuan. "Saya dapat katakan, saya tahu pertanyaan itu akan muncul," katanya bergurau.

Dia mengatakan, persoalan itu bukan sesuatu yang perlu disembunyikan atau membuat malu. Fokus tetap harus diarahkan kepada para imam yang tengah berjuang dan mendukung mereka dalam menjalankan ikrar mereka.

Turkson juga ditanya tentang posisi Gereja Katolik berkaitan dengan penggunan kondom dalam memerangi HIV yang mengancam benua itu. Vatican menentang kondom, sebagaimana juga beragam bentuk artifisial lain dalam mengotrol kelahiran. Para pengeritik mengatakan, posisi gereja itu memperburuk masalah HIV di Afrika.

Turkson tidak sama sekali mengesampingkan kondom. Ia menyarankan pasangan yang menikah dapat menggunakan kondom dalam situasi salah satu dari mereka terinfeksi. Namun dia mengatakan, kualitas kondom di Afrika sangat jelek, dan itu berbahaya karena membuat rasa aman yang palsu. Dia mengatakan, kematangan dan kesetian merupakan kunci dalam memerangi epedemi HIV, serta menahan diri dari seks jika terinfeksi.

"Mari kita bicara secara jelas," katanya. "Kita bicara tentang produk dari sebuah pabrik yang kualitasnya yang beragam. Ada kondom yang masuk ke Ghana, kepalanya akan pecah saat dipakai dalam berhubungan seks. Jika itu kasusnya, itu memberi rasa aman yang palsu yang justru memudahkan penyebaran HIV/AIDS," katanya.[www.kompas.com]

Tulisan Terkait



2 komentar

stef mengatakan... @ 29 April 2017 pukul 13.52

nice post

stef mengatakan... @ 29 April 2017 pukul 13.54

nice post
http://www.katolisitas.org/

Posting Komentar